Siapa Saja yang Bisa Memiliki Tanah di Jogja Ini Jawabannya

Admin Maret 27, 2018
Sejarah eksistensi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tidak terlepas dari adanya Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Kraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I pada 1756 M. Sebelum menempati keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I, yang mempunyai nama lengkap Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalogo Ngabdulrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah, tinggal di Kabupaten Sleman. Kraton sendiri dipakai sebagai pusat pemerintahan kesultanan Yogyakarta. Salah satu dari empat Kerajaan Jawa (Praja Kejawen) yang didirikan pada tanggal 17 Maret 1813 adalah Praja Pakualaman atau Kadipaten Pakualaman atau Negeri Pakualaman.

Siapa Saja yang Bisa Memiliki Tanah di Jogja Ini Jawabannya

Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta terbagi dalam sejumlah periode yaltu, Periode sebelum tahun 1918. Pada masa ini tanah adalah hak Raja. Raja berhak sepenuhnya atas tanah dan rakyat memiliki hak mengerjakan dengan diberi beban menyerahkan hasil dari mengerjakan tanah sebesar 1/3. Kemudian periode tahun 1918 – 1954, pada periode ini seluruh tanah yang tidak dapat keterangan dari Hak Eigendom oleh pihak lain ialah Domein Kraton Ngayogyakarta atau Puro Pakualaman. Pada waktu itu Kraton memberikan Hak Anggaduh atau biasa disebut dengan Hak untuk mengelola tanah kepada Kelurahan. Selain itu Kraton menyerahkan tanah turun temurun untuk rakyat yang bakal dipergunakan rakyat. Tanah ini dikenal dengan Sultan Ground.

Sultan Ground ialah Tanah Keraton yang belum diserahkan haknya untuk penduduk maupun untuk pemerintah desa, adalah milik keraton sampai siapapun yang hendak menggunakannya wajib untuk meminta ijin kepada pihak Keraton. Tanah di Yogyakarta dengan kedudukan Sultan Ground adalah kesinambungan antara masa dahulu dan masa sekarang untuk memuliakan Kasultanan Yogyakarta.

Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan Piagam Kedudukan Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan HB IX, secara sah mengakui eksistensi Kraton Yogyakarta, tercantum tanah-tanahnya yang berstatus sebagai keprabon dalem dan dede keprabon dalem. Walaupun tanah tanah tersebut telah mengalami perkembangan dalam penguasaan dan pemakaiannya, tetapi status hukumnya senantiasa dicocokkan dengan konsep kerajaan, dimana Sultan ialah penguasa tunggal.

Berdasarkan Rijksblaad Kasultanan 1918 Nomor 16 jo. Risjkblaad 1915 Nomor 23, dilaksanakan reorganisasi dengan tujuan menyerahkan hak atas tanah untuk rakyat biasa dengan hak-hak yang kuat. Tanah sultan ground dipecah dua yakni Crown Domain atau Tanah Mahkota dan Sultanaad Ground. Crown Domain atau Tanah Mahkota tidak dapat diwariskan tersebut yang adalah atribut pemerintahan Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat, diantaranya Keraton, Alun-alun, Kepatihan, Pasar Ngasem, Pesanggrahan Ambarukmo, Pesanggrahan Ambarbinangun, Hutan Jati di Gunungkidul, Masjid Besar dan sebagainya. Sedangkan tanah Sultanaad Ground (tanah kepunyaan Kasultanan) ialah tanah-tanah yang dapat diberikan dan diberi beban hak. Tanah itu adalah wilayah kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat yang tanahnya dapat dikuasai oleh rakyat.

Kemudian Periode tahun 1954 – 1984 hal agraria atau pertanahan adalah urusan rumah tangga Daerah Istimewa Yogyakarta yang menyerahkan hak kepemilikan turun temurun (Erfelijk lndividuaeel Bezzits Recht) atas bidang tanah untuk Warga Negara Indonesia (Hak Milik). Sedangkan Kelurahan / Desa diberi hak untuk mengurus dan menata administrasi pertanahan di Kelurahan / Desa. Adapun tanda Sah Hak Milik di Provinsi DIY diluar Kota Praja ialah model D, E dan Kumpulan (Register) letter C. Periode Tahun 1984 hingga sekarang. Sejak tanggal 1 April 1984 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) mulai berjalan di Yogyakarta, menurut Keppres No. 33 Tahun 1984 dan mulai berlaku secara efektif semenjak tanggal 24 September 1984 menurut SK Mendagri No. 66 Tahun 1984.

Dengan berlakunya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 itu adalah bukti bahwa Hak Atas Tanah di DIY sebelum tahun 1984 tetap diakui, sementara Hak Tanah bekas Hak Barat yakni Groose Akte sebelum tanggal 24 September 1961 dan Sertifikat Hak Atas Tanah setelah tanggal 24 September 1961. Sedangkan tanah-tanah yang tidak terdapat tanda bukti haknya sebagaimana diatas adalahtanah SG atau PAG.

Sebagai tanda bukti Hak Atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta menurut Undang-undang Pokok Agraria mencakup Sertifikat yang meliputi: Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Wakaf dan Hak Tanggungan serta Hak Milik Satuan Rumah Susun. Tetapi peraturannya adalah sebagai payung hukum yang menata status tanah di Provinsi.

Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta sekarang mejelaskan bahwa pertanahan Yogyakarta ditata dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan ketentuan pelaksanaannya. Kenyataannya pelayanan pertanahan di DIY masih harus memperhatikan kepandaian Pemerintah Provinsi DIY wilayah swapraja. Seperti yang tercantum dalam UUPA, hak dan wewenang dari swapraja atau bekas tanah swapraja yang masih terdapat pada masa-masa berlakunya undang undang ini dihapus dan berpindah kepada negara.

Hal-hal yang terkait dengan huruf a ditata lebih lanjut dengan ketentuan pemerintah. Tapi hingga sekarang, ketentuan pemerintah tersebut belum dibuat. Oleh arena itulah UUPA di Yogyakarta belum dilakukan sepenuhnya. Maka untuk menuntaskan persoalan itu dikeluarkan Undang Undang No. 13 Tahun 2012 perihal Daerah Keistimewaan Yogyakarta yang mana memberi utusan kepada pemerintah yogyakarta untuk menata keistimewaan Yogyakarta dalam bidang pertanahan.

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »
Penulisan markup di komentar
  • Untuk menulis huruf bold gunakan <strong></strong> atau <b></b>.
  • Untuk menulis huruf italic gunakan <em></em> atau <i></i>.
  • Untuk menulis huruf underline gunakan <u></u>.
  • Untuk menulis huruf strikethrought gunakan <strike></strike>.
  • Untuk menulis kode HTML gunakan <code></code> atau <pre></pre> atau <pre><code></code></pre>, dan silakan parse kode pada kotak parser di bawah ini.

Disqus
Tambahkan komentar Anda